Aku selalu berpikir bahwa teknologi akan membuat hidupku lebih mudah. Jadi ketika aku menemukan aplikasi diet berbasis AI yang katanya bisa membantu menurunkan berat badan dengan cepat dan efektif, aku langsung mendownloadnya tanpa ragu. “Masa depan sudah tiba!” pikirku. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa masa depan ini akan menyeretku ke dalam bencana diet paling absurd dalam sejarah hidupku.
Kesalahan AI yang Bikin Dietku Berantakan
Hari pertama, aku dengan semangat mengisi data ke aplikasi AI diet ini. Tinggi badan, berat badan, usia, tingkat aktivitas, semuanya aku isi dengan jujur. Lalu ada kolom “Makanan Favorit.” Aku pikir, “Wah, ini keren! Pasti AI akan menyesuaikan diet berdasarkan makanan favoritku!” Tanpa pikir panjang, aku ketik “Donat.” Karena ya… siapa sih yang nggak suka donat?
Setelah beberapa detik loading, akhirnya rekomendasi AI muncul. Aku menahan napas, membayangkan pola makan sehat dan seimbang yang akan kuberikan pada tubuhku. Lalu aku baca hasilnya:

“Sarapan: Donat. Snack pagi: Donat. Makan siang: Donat. Snack sore: Donat. Makan malam: Donat. Snack malam: Donat. Total: 12 donat per hari untuk hasil optimal!”
Mataku membelalak. Aku membaca ulang. Mungkin ada kesalahan? Tapi tidak, AI ini benar-benar menyuruhku makan donat sehari 12 kali! Aku menatap layar dengan penuh kebingungan.
“AI ini serius, nih? Aku mau diet, bukan daftar jadi duta donat nasional!”
Aku tertawa kecil, mengira ini hanya bug. Tapi saat aku mencoba bertanya, “Kenapa makan donat sebanyak itu?”, AI menjawab dengan suara robotik penuh keyakinan:
“Berdasarkan data pengguna, makanan favorit Anda adalah donat. Agar diet berhasil, penting untuk tetap menikmati makanan kesukaan dengan porsi yang optimal. Selamat menikmati!”
Aku terdiam. Ini bukan bug. Ini AI yang terlalu “pintar” sampai kelewat bego.
Hari Pertama: Ketika Diet Malah Jadi Festival Donat
Aku penasaran, apa jadinya kalau aku benar-benar mengikuti saran AI ini? Toh, teknologi kan lebih cerdas dari manusia, kan? Jadi aku mencoba.
Pagi-pagi, aku makan satu donat dengan kopi. Rasanya enak. “Oke, ini masih masuk akal,” pikirku.
Tiga jam kemudian, snack pagi. Donat lagi.

Makan siang? Donat.
Snack sore? Donat.
Makan malam? DONAT.
Snack malam? Aku sudah mulai menggigil.
Saat aku melihat piringku yang hanya berisi donat, aku mulai merasa seperti karakter kartun yang tersesat di pulau terpencil dengan makanan yang tak beragam. Aku membayangkan diriku bertanya ke cermin, “Apakah aku benar-benar sedang diet, atau ini hanya cara AI untuk mengubahku menjadi bola gula berjalan?”
Hari Kedua: Efek Samping Diet AI yang Kacau
Di hari kedua, aku mulai merasakan efeknya. Energi meningkat… untuk beberapa jam pertama. Lalu, tiba-tiba aku merasa seperti roller coaster. Gula darah naik, lalu anjlok. Aku mulai mengalami kantuk yang luar biasa setelah makan, dan dalam waktu dua hari, aku merasa lebih seperti zombie daripada manusia sehat.
Aku memutuskan untuk menghubungi customer support aplikasi ini. Setelah beberapa saat, chatbot mereka akhirnya menjawab:
Aku: “Halo, AI kalian menyuruhku makan donat sehari 12 kali. Ini beneran?”
AI Support: “Iya. Rekomendasi ini berbasis data. Sistem kami memastikan Anda tetap menikmati makanan kesukaan sambil menjalani diet yang optimal!”
Aku: “Tapi aku malah makin gemuk!”
AI Support: “Mungkin Anda kurang mengunyah dengan perasaan bahagia. Coba nikmati setiap gigitan!”
Aku menatap layar dengan frustasi. Aku butuh dokter gizi, bukan motivator sok positif.
Hari Ketiga: Timbangan Memberikan Kabar Buruk
Aku akhirnya memutuskan untuk menimbang badan. Aku berharap ada keajaiban. Mungkin AI ini tahu sesuatu yang tidak aku tahu. Mungkin pola makan donat ini sebenarnya adalah teknik rahasia yang belum ditemukan oleh para ilmuwan gizi!
Aku naik ke timbangan.
“Naik 2 kilo.”
Astaga.
Aku langsung panik. Aku baru diet tiga hari dan bukannya turun, malah nambah berat! Ini AI atau jebakan Batman?
Aku buru-buru membuka aplikasi lagi dan mencoba mengatur ulang preferensi makanan. Tapi anehnya, AI ini masih kekeuh menyarankan donat! Seakan-akan aku sudah dikutuk selamanya dalam lingkaran setan berbentuk cincin manis ini.
Aku mencoba menghapus riwayat makanan favoritku. Tapi AI malah bertanya:
“Apakah Anda yakin ingin menghapus donat dari makanan favorit Anda? Ini akan mempengaruhi pola diet yang sudah dirancang dengan teliti.”
Aku klik “YA.”
AI: “Hmm… sistem mendeteksi bahwa Anda menyukai roti manis. Bagaimana kalau mengganti donat dengan croissant 12 kali sehari?”
AKU MENYERAH.
Kesadaran: AI Tidak Selalu Lebih Pintar
Setelah menyadari bahwa mengikuti AI ini hanya akan membuatku bertambah gemuk, aku akhirnya kembali ke pola diet manusia normal. Aku mulai makan sayur, protein, olahraga, dan TIDAK menjadikan AI sebagai pelatih dietku lagi.
Aku menyadari satu hal: teknologi memang canggih, tapi kalau data yang kita masukkan salah, hasilnya juga bakal ngawur. Dan mungkin, AI ini memang dirancang untuk mendukung industri donat secara diam-diam. Konspirasi?
Tapi yang jelas, aku belajar satu pelajaran penting: Jangan percaya AI diet yang lebih mirip strategi marketing toko roti!
Aku uninstall aplikasi itu sambil mengambil wortel. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku merasa sehat. Dan yang lebih penting, aku tidak perlu khawatir berubah jadi donat berjalan.
Kesimpulan: Jika kamu ingin mencoba aplikasi AI untuk diet, pastikan kamu tidak asal memasukkan makanan favoritmu ke dalam sistem. Kalau tidak, bisa-bisa kamu malah diminta makan burger 10 kali sehari atau ngemil kentang goreng nonstop.
Dan kalau AI mulai terdengar seperti penggoda setan dengan saran diet aneh, ingatlah untuk tetap pakai akal sehat. Karena kalau tidak, kamu bisa berakhir seperti aku—menyesal di depan timbangan sambil menggenggam donat terakhir dalam hidupku.
🚀🍩